Aku setuju bahwa memoar yang ditulis Tara benar-benar kisah yang menginspirasi, menyentuh hati dan bagaimana bukti kekuatan pendidikan mengubah kehidupan. Harga yang dibayar Tara untuk sebuah perubahan besar dalam hidupnya adalah kehilangan keluarganya (Ayah, Ibu dan empat saudaranya). Sebuah jurang pemisah telah muncul diantara mereka dan tumbuh melebar seiring bertambahnya pengetahuan Tara dan tiga saudara lainnya yang juga memutuskan untuk memperoleh pendidikan formal sampai jenjang paling tinggi dengan gelar doktor.
Ayah dan Ibu Tara, benar-benar tidak bisa menerima perubahan Tara, mereka tidak mau bertemu dengan Tara, menganggap Tara adalah anak yang kerasukan seta. Mereka benar-benar fanatik terhadap kepercayaan mereka yang aku pun tidak bisa percaya dengan pola pikir mereka. Tara menghadapi masa masa sulit sejak masa kanak-kanaknya. Hidup, tumbuh besar di ladang barang rongsokan, membantu ayahnya mengoperasikan alat berat, dan pekerjaan berat lainnya yang hampir membuat dia kehilangan nyawa.Hal yang mengerikan juga terjadi pada saudaranya, karena kerasnya didikan ayah mereka yang yang keras kepala, dan tak begitu peduli dengan keamanan anak-anak mereka.
Tara adalah seorang pelajar yang cemerlang, rasa hausnya akan pengetahuan, tentang sejarah telah membawanya melintasi lautan dari benua America ke Benua Eropa untuk melanjutkan studinya di Cambridge, Oxford dan kemudian Harvard. Terlihat mulus perjalanan Tara dalam menuntut ilmu tapi ada suatu masa ketika dia mengambil program PhD, dia mengalami masa-masa terburuk, depresi, berteriak dan berlari keluar flatnya tengah malam. Tidak bisa berfikir dengan jelas, tidak mengerti apa yang dia baca, dia terluka setelah perdebatan dengan orang tuanya, yang memaksanya untuk kembali pada hal apa yang dipercayai orang tuanya. Kembali untuk disucikan, kembali ke gunung, kembali menjadi dia yang dulu, kembali menjadi penurut, dan mendengarkan semua khotbah ayahnya. Tara terluka, hati dan fikirannya butuh waktu lebih kurang satu tahun untuk sembuh sampai akhirnya dia bisa kembali melanjutkan disertasinya dan meraih gelar doktor. Dengan bantuan konseling pihak kampus, secara bertahap membuatnya kembali mampu merangkai kata, fokus serta mampu menata pikiran dan emosinya.
Tara masih dihantui rasa bersalah, berulang kali dia berusaha menyapa ayah ibunya, ingin kembali dan bertemu namun mereka menolak Tara. Termasuk Ibu Tara, Ibu yang Tara harapkan cinta kasihnya tetapi terlanjur setia pada setiap kata yang terucap oleh suaminya.
Ketika pintu hubungan tertutup dengan ibu dan ayahnya, dia beruntung masih bisa mendapatkan rasa kekeluargaan dari saudaranya yang lain yaitu Tyler, Richard, Tony serta paman dan bibinya yang berasal dari keluarga Ibu.
Satu hal yang tidak boleh kulewatkan, kejam dan jahatnya kakak Tara, Shawn. Menyakitinya dan melecehkannya. Memasukksan kepalanya kedalam toilet, memaksanya untuk mengakui bahwa dirinya adalah seorang pelacur, mencekiknya, mencengkeram lengannya di parkiran, di lantai rumah. Bahkan aku rasanya juga tidak akan bisa mentolerir perlakuan Shawn pada Tara. Namun yang lebih menyakitkan, Ibu dan Ayah Tara tetap membela Shawn.
Tara menjadi dirinya yang sekarang, dengan segala keputusan yang telah dia ambil, untuk tidak kembali ke masa lalunya dan melanjutkan kehidupan yang baru karena telah mengecap hebatnya kekuatan pendidikan.
Teman-teman harus membaca lansung bukunya, karena disana akan digambarkan betapa kerasnya wakta Ayah Tara, betapa fanatiknya keluarga tara terhadap buruk dan berbahayanya pengobatan medis, berbahanya sekolah-sekolah formal yang dapat mencuci otak anak-anak mereka, betapa mereka penuh dengan kecurigaan terhadap pemerintah. Ayah Tara punya dunianya sendiri yang mana dia juga memaksakan seluruh kehendaknya itu pada keluarganya. meskipun dia mengalami luka bakar yang mengerikan dia tetap bersikeras dengan prinsip dan kepercayaannya. Ayah Tara adalah orang yang dia tidak bisa kalahkan dan berdebatpun percuma, sampai akhirnya mereka berpisah.
Ketika membaca buku ini, aku membayangkan melihat Idaho, Buck's peak, ladang barang ronsokan, cambridge, harvard, oxford, mormon,holocaust , Joseph smith.
Komentar
Posting Komentar