Langsung ke konten utama

Momen Pemberani Dalam Hidupku





Salah satu momen dimana aku bersikap berani adalah saat aku berusia 5 tahun. Sepertinya, waktu itu ibu ada urusan dan telat menjemputku dari sekolah TK yang ada dilingkungan rumah kami. Sepertinya waktu itu jarak rumah dan TK ku adalah sekitar 1 kilometer. Semua anak sudah dijemput hanya tersisa diriku dan guruku. Saat itu guru TK ku juga harus bergegas pulang karena ada urusan. Beliau sudah menunggu bersamaku sekitar 1 jam. Akhirnya, beliau berkata,"ini saatnya kamu belajar pulang sendiri, jadi anak yang mandiri dan pemberani". Aku terdiam...

Pulang sendiri. Hal ini sungguh berat bagiku. Aku harus melewati jalan raya yang besar. Aku harus menyapa semua orang tua yang aku lihat di jalan. Aku akan diperhatikan ketika berjalan seorang diri. Kemudian aku harus melewati rumah MAMA, rumah orang terkaya di lingkungan sekitarku sampai dia mempunyai hewan peliharaan monyet/siamanng atau sejenisnya aku tidak tahu saat itu, yang jelas aku akan mendengar suara seperti makhluk mamalia besar layaknya sedang berada di kebun binatang Siantan Bukittinggi.

Terpaksa oleh keadaan, aku memberanikan diri untuk pulang melewati semua hal yang kutakutkan. Semua yang kuceritakan di atas masih bisa aku lewati tapi tidak dengan rumah mak lampir. Setelah berjalan melewati rumah MAMA. Aku harus berjalan lagi, kali ini jalanan kampung yang lebih kecil. Bahkan jalan yang ada di antara semak-semak, ladang yang tidak di garap dan persawahan. Di tengah itu semua ada rumah tua kosong terbuat dari kayu dan dinding ayaman bambu yang reot dan hampir roboh. Dinding, jendela dan pintu dipenuhi oleh tanaman menjalar. Aku benar-benar takut dengan rumah nek lampir. Semua teman-teman ku juga takut dengan rumah yang satu ini. Konon katanya, nek lampir suka menculik anak-anak.

Aku menarik nafas panjang, bersiap untuk berlari kencang ketika hendak melewati rumah nek lampir. Aku berlari sambil menangis ketakutan,jantungku berdegup dengan kencang. Waktu itu tengah hari pukul 12 siang. Lingkungan rumah sekitarku juga sepi. Sepertinya semua orang sedang beristirahat siang dan tidak ada yang mau keluar rumah.

Setelah  melewati jalan sepi deengan semua ketakutanku, aku harus melewati tantangan berikutnya yaitu beberapa barisan kuburan di dekat sungai kecil. Aku sudah tidak takut lagi, energi ku untuk takut sudah habis. Aku juga sadar setelah melewati kuburan ini, aku akan melihat rumahku dengan cat putih dari kejauhan. aku tidak takut lagi. Ada rasa aman menyelinap dalam hatiku dan berbisik bahwa aku akan baik-baik saja.

Akhirnya aku sampai di depan rumah, aku melihat ibuku bersiap mengunci pintu keluar dari rumah dengan payung hendak menjemputku. Aku pun menangis, merengek dan  komplain pada ibuku, kenapa aku telat dijemput?

Aku tidak ingat apa komentar dan jawaban ibuku, yang jelas aku pasti sudah masuk rumah saat itu, duduk terdiam sambil mencari air untuk minum.
Satu hal yang ku ingat, karena aku telah berhasil pulang dengan aman sendirian dari sekolah. Mulai besok aku harus kembali pulang sendiri dan tidak akan dijemput lagi.

Wuah! Mereka, ayah dan ibuku sepertinya sudah menganggapku pemberani sekarang. Semua akan baik-baik saja dan sudah saatnya mandiri, tidak manja dan tidak perlu antar jemput lagi ke sekolah.

Perasaanku campur aduk! Aku harus mengatur strategi, aku harus mencari kawan untuk pulang dan pergi sekolah besok

Namun, sebuah kejutan! Ibu ku kembali datang menjemputku di TK. Sepertinya challenge untuk pulang  sekolah sendirian tidak dimulai hari ini. Aku sangat beruntung! Trimakasih ibu untuk selalu ada mengantar dan menjemputku saat aku TK dahulu. Aku sangat bersyukur ternyata itu adalah momen yang berharga dalam hidupku.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Buku The Midnight Library - By Matt Haig

Buku yang aku beli bulan Mei lalu, akhirnya selesai kubaca di akhir Juni ini. Aku memutuskan membeli buku ini setelah melihat beberapa review di sosial media, bahkan ada selebriti muda perempuan Indonesia yang juga sekaligus awardee LPDP mengulas buku ini dan merekomendasikannya untuk dibaca. Selain alasan ini, aku masih punya alasan lain kenapa membeli buku ini yaitu karena tokoh cerita Nora Seed mengalami depresi dan melakukan bunuh diri. DEPRESI, aku kira pada usia 30 an kita sudah menjadi lebih stabil secara emosional, namun tetap saja banyak orang yang masih mengalami krisis kehidupan di usia ini. Aku merasa mengerti dengan apa yang dialami oleh Nora. Melihat bagaimana Nora, berpetualangan di buku yang berbeda di perpustakaan tengah malam saat kondisi kritisnya, aku menyadari sesuatu bahwa sepertinya kita tak akan pernah benar-benar stabil dalam setiap fase kehidupan, karena dari sunnatullah kehidupan, hukum alam adalah terus bergerak dan dinamis. Sebagai contoh, ketika ada gempa,...

Jika Saatnya Tiba

Jika saat nya tiba, ku harus pergi tinggalkaan dunia ini. Maka ku ingin ada hal yang bisa ku tinggalkan kelak, menjadi amal yang terus mengalir bagiku. Yang terdiri dari 3 perkara : 1. Sedekah jariyah. 2. Ilmu yang bermanfaat. 3. Doa dari anak yang shaleh. Teruntuk kedua orang tua ku yang sangat kusayangi, dua orang malaikan yang di kirim tuhan yang dapat kulihat, mungkin ku tak bisa janjikan harta yang berlimpah, tapi insya Allah ku akan pastikan kirim doa terbaik ku slalu untuk ayah dan ibu. Aku bersyukur sekali telah dipertemukan teman teman hebat yang sekarang bergabung di volunteer bimbel gratis aladdin. Aku yang tengah merekapdata data volunteer merasakan kepdualian mereka terhadap pendidikan negri ini utk masa depan,semangat untuk berbagi, sangat untuk belajar dan meningkatkan kapasitas diri. Alhamdulilah, semoga kita dipersatukan dalam ukhuwah utk terus bisa berbuat baik, dan semakin baik. Aku ingin jadikan bimbel aladdin ini salah satu ladang amal yg mengalir...

Ringkasan Buku Educated

Aku setuju bahwa memoar yang ditulis Tara benar-benar kisah yang menginspirasi, menyentuh hati dan bagaimana bukti kekuatan pendidikan mengubah kehidupan. Harga yang dibayar Tara untuk sebuah perubahan besar dalam hidupnya adalah kehilangan keluarganya (Ayah, Ibu dan empat saudaranya). Sebuah jurang pemisah telah muncul diantara mereka dan tumbuh melebar seiring bertambahnya pengetahuan Tara dan tiga saudara lainnya yang juga memutuskan untuk memperoleh pendidikan formal sampai jenjang paling tinggi dengan gelar doktor. Ayah dan Ibu Tara, benar-benar tidak bisa menerima perubahan Tara, mereka tidak mau bertemu dengan Tara, menganggap Tara adalah anak yang kerasukan seta. Mereka benar-benar fanatik terhadap kepercayaan mereka yang aku pun tidak bisa percaya dengan pola pikir mereka. Tara menghadapi masa masa sulit sejak masa kanak-kanaknya. Hidup, tumbuh besar di ladang barang rongsokan, membantu ayahnya mengoperasikan alat berat, dan pekerjaan berat lainnya yang hampir membuat dia kehi...